Blog

Perbedaan Pandangan #9

Hari ini adalah hari ke-9 saya menulis. Wah 21 hari lagi itu ternyata masih sangat lama.

Saya akan melanjutkan perjalanan saya dengan SJD dari cerita sebelumnya.

Setiap minggu saya disibukkan untuk mempersiapkan kelas SJD dengan mencari mentor-mentor profesional di bidangnya. Namun, di perjalanan ternyata tujuan saya membangun SJD memiliki pandangan yang berbeda dengan Ketua.

Saya yang selalu terjun di lapangan bersama teman saya. Dia mengurusi anak SD, sedangkan saya anak SMP. Kami yang berhubungan langsung dengan mereka tiap minggunya.

Di bulan Desember, untuk memperingati hari Ibu kami berinisiasi untuk merayakannya dengan cara membuat kegiatan dalam bentul Lomba masak-masak Ibu dan anak. Tujuannya, untuk lebih mendekatkan para Ibu dan anak.

Pada saat mengundang ibu dari anak-anak ini, saya dan teman saya itu membagi tugas untuk berkunjung ke rumah anak-anak ini karena jumlah anak yang lumayan banyak dan tidak bisa dilakukan dalam waktu 1 hari saja kalau tidak dibagi tugas.

Saya ke rumah mereka masing-masing, dan hasilnya…..

Mereka kebanyakan memang berasal dari keluarga marginal. Ada Ibu dari anak mereka bilang, “saya tak punya baju untuk kegiatan ini”. Miris dengarnya saat itu dia katakan dalam ruangan sekitar 4x3m di dalamnya sudah ada kompor dan kasur sekaligus bak rumah kos-kosan yang berisikan ayah ibu dan empat orang anak.

Ada juga rumah yang saya datangi, berdinding papan, beratap jerami. Ketika saya mengucapkan salam, tiba-tiba keluar Ayahnya dan mengatakan “anak saya jangan diajak-ajak belajar, dia sibuk menjual”. Saya belum mengucapkan sepatah kata pun, pintu rumah itu tertutup kembali.

Melihat ini, saya semakin ingin membantu anak-anak ini belajar dan ingin mengajak orangtuanya saling bekerjasama.

Namun, dalam perjalanan. Saya selalu saja beradu pendapat dengan pengurus lain. Mereka mau membuka iuranlah, menjadikan kayak tempat kursuslah, merekrut siswa barulah, dan lain-lain.

Makin lama, saya makin tidak sejalan. Mereka kebanyakan konsep, tapi untuk turun di lapangan langsung mereka enggan. Sudah saya ceritakan kondisi anak-anak ini, tapi mereka tidak peduli. Pada saat puncaknya, saya saat itu kena cacar harus istrahat di rumah selama 1 minggu lebih.

Saya tidak sempat untuk mengurusi anak-anak ini. Dan yang terjadi, tanpa saya?
Makin kacau. Kelas tidak berjalan. Dan anak-anak terlantar.

Saya semakin geram, pada akhirnya saya keluar tanpa berdiskusi dengan baik-baik. Bukan tanpa alasan, di grup Whatsapp saya terus bekoar-koar tapi tidak ada yang peduli. Ternyata teman yang sepaham dengan saya ada beberapa orang ikut juga keluar dari SJD itu.

Bagaimana setelah saya pergi?

Anak-anak itu sekarang tergantikan sama anak-anak orang kaya. Anak-anak kemarin yang setengah mati saya perjuangkan, ditinggalkan begitu saja.

Hingga saat ini, saya masih merasa punya hutang dan beban moral sama mereka.

Ruang Ketiduran, 10 Februari 2020

#Budaksemesta
#Pelayanpikiran
#Buruhtulisan

 

Pertama kali membangun komunitas pendidikan di Baubau #8

Kelas pertama bersama SJD sangat seru diisi oleh teman seorang sarjana psikolog itu. Saya yang baru 3 kali ketemu anak-anak itu sudah mendapat feelnya. Anak-anak juga kelihatannya nyaman dan sangat senang.

Kelas pertama kami lakukan di Benteng Keraton Buton. Kemudian, melihat semangat anak-anak belajar, kami pengurus juga semakin antusias untuk serius dengan SJD ini. Mulailah kami merancang launching SJD ini.

Melatih mereka membaca puisi, dan paduan suara. Launching dilakukan di Lippo Plaza Buton. Kami membagi tugas siapa yang mengurusi tempat, perlengkapan, rundown acara, konsumsi dan lain-lain. Kegiatan ini merupakan kegiatan besar pertama kami dengan mengundang Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga, juga bekerja sama dengan KNPI Baubau.

Terjadi miss komunikasi di lapangan adalah hal biasa, namun jika kendala-kendala itu terjadi karena lepas tanggungjawab menurut saya itu hal yang disengajakan. Dan saya kurang toleransi mengenai hal ini.

Niat awal saya membangun SJD ini adalah memang fokus pada anak-anak kaum marginal. Saya berupaya bahwa mereka mendapat hak-hak yang sama dengan anak-anak orang mampu itu. Tidak lain hanyalah hanya ingin membuat anak-anak bahagia dan mempersiapkan generasi yang beradab dan berkarakter.

Launching SJD berjalan dengan baik. Setelah itu, saya fokus membuat program SJD karena saat itu saya meminta untuk menjadi Ketua Divisi Program. Saya membuat semua akun media sosial seperti email, instagram, facebook, dan twitter. Saya sibuk merancang dan mempublikasikan semua kegiatan yang ada di SJD.

Hari demi hari saya sibuk dengan kegiatan SJD. Saya menemukan kebahagiaan yang luar biasa di sini. Namun, ada saja batu kerikil yang muncul di dalam perjalanan, yang pada akhirnya saya menemukan titik kelemahanku yang tak bisa kuselamatkan dengan mundur dari SJD.

Ruang ketiduran, 09022020

#budaksemesta
#pelayanpikiran
#buruhkeyboard

Pulang Kampung #7

Setelah 10 tahun lebih melalang buana di kampung orang, akhirnya saya berani memutuskan untuk balik selama-lamanya di kampung. Tidak disangka, hari itu tiba. Sejak dulu, kaki ini sangat berat untuk balik. Namun pertimbangan terbesar itu memang berasal karena keluarga.

Saya balik kampung pertengahan Agustus 2018. Awal balik saya sampe drop. Berat saya dari 48kg turun menjadi 40kg. Saya butuh waktu untuk menyesuaikan dengan kehidupan di rumah (bukan anak kos). Pulang ke rumah tidak punya teman, saya sangat tidak produktif membuat saya sempat stress. Kemudian setelah satu bulan, tanpa sengaja bertemu seorang teman yang juga baru kenalan saat itu di suatu kegiatan diskusi. Akhirnya saya berpesan, jika ada kegiatan-kegiatan diskusi yang terbuka untuk umum, boleh saya diajak.

Sejak saat itu, saya semakin banyak kenalan. Mulai aktif kembali untuk bersosialisasi. Badan sudah mulai naik menjadi 43kg hingga 45kg sampai sekarang. Agak susah kembali ke 48kg lagi. Namun, saya menemukan kembali duniaku, meski jam malam terbatas tidak seperti waktu jadi anak Kosan.

Pada akhirnya bertemu seseorang yang awalnya memiliki visi misi yang mirip. Kebetulan dia seorang penulis. Bertemu beliau hanya 2 kali pertemuan sampai sama-sama mengambil keputusan untuk bekerjasama. Beliau sering melihat postingan-postingan saya tentang Komunitas Jendela Jakarta. Dia menanyakan komunitas saya itu, akhirnya saya membaginya. Saya sangat ingat malam itu, malam Jumat  di tanggal 18 Oktober 2018, dia bertanya seperti ini, “Apakah tidak rencana mau membuat jendela di Baubau?” setelah saya menceritakan kesibukan saya di Komunitas Jendela Jakarta. Dengan spontan saya menjawab “tentu, sangat mau cuma belum menemukan lokasi yang cocok”.

Jadi, sebelum bertemu seseorang ini, saya memang sudah memiliki rencana membuat komunitas semacam ini daerah dekat rumah saya, cuma saya lagi proses survey-survey. Kemudian dia datang, dan langsung menawarkan rumahnya karena kebetulan dia memiliki sebuah taman kanak-kanak, jadi katanya ruangan itu bisa dipakai.

Tanpa berpikir panjang malam itu juga saya meng”IYA” kan. Wah jarang-jarang dapat menemukan seseorang yang seVisiMisi, dan memang saya sedang mencari tempat dan partner untuk mengeksekusi rencana saya itu. Saya merasa ini seseorang yang dikirim Tuhan untuk bersama-sama membantu pendidikan anak di Indonesia khususnya kota Baubau.

Akhirnya terbentuklah nama “Sekolah Jelajah Dunia” yang terucap dari mulut saya sendiri malam itu juga. Program-programnya saya terinspirasi dari Komunitas Jendela Jakarta namun dibuat berbeda disesuaikan dengan kondisi Kota Baubau. Karena malam itu sudah pukul 00.00 WITA, saya minta izin pulang untuk dilanjutkan keesokan harinya. Tak disangka, malam sabtunya tanggal 19 Oktober 2018, yang dipikiran saya kita masih mau membahas kelanjutan pembahasan semalam, eh pas saya datang kembali di malam sabtu itu, telah terkumpul 4 orang di rumahnya, termasuk Dia. Dia sedang mempresentasikan tentang Sekolah Jelajah Dunia yang orang-orang datang malam itu tidak saya kenal. Ada sih yang saya kenal cuma 1 orang tapi tidak dekat.

Malam itu juga terbentuk pengurus dan dia sebagai KETUAnya. Oke saya sedikit shock, semacam terkandang paksa. Tapi saya rasa ini kandang paksa dalam kebaikan. Tanpa berpikir panjang, kami sepakat untuk mengumpulkan anak-anak di sekitar situ. Dikarenakan saya bukan warga di situ, maka Dia lah yang mengumpulkan anak-anak esok harinya di hari Sabtu. Saya datang kembali di hari Sabtu tanggal 20 Oktober untuk mendata anak-anak. Pada hari itu, anak-anak sudah banyak kumpul di rumah Ketua (tanpa saya tahu bagaimana caranya memanggil anak-anak ini, saat itu saya percaya saja karena dia adalah warga di situ). Kemudian, pertemuan berikutnya di Sabtu tanggal 27 Oktobernya dilakukan perkenalan antara anak-anak dengan pengurus dan 28 Oktober adalah kelas pertama SJD yang diisi oleh teman saya seorang lulusan Sarjana Psikologi yang kemudian saya ajak untuk bergabung di SJD juga.

Respon adik-adik saat itu sangat antusias. Yang mendaftar untuk kelas SD ada 16 anak dan SMP ada 10 anak.

Bagaimana Kelanjutannya? *bersambung

Desa Lasori, Mawasangka Timur
0802-2020

Alam dan Taat #6

Cuaca hari ini sedang gerimis. Menyeberang lautan sekitar 15 menit dengan kondisi gerimis membuat perenungan terjadi. Melihat alam yang begitu indah dengan segala kesempurnaannya. Alam semesta ini dilihat dari segi manapun akan selalu indah.

Semesta begitu patuh, begitu taat, begitu tunduk kepada Penciptanya. Namun, ketika melewati lautan yang ada sampahnya, perasaan sakit  itu muncul. Ya, yang merusak alam itu bukan alam itu sendiri. Tapi manusia. Manusia terlalu sombong dan angkuh, seakan semesta tidak dapat membalas atas perbuatannya.

Melihat alam dirusak saja kita sedih, bagaimana dengan Penciptanya?

Wajar saja dong jika muncul getaran-getaran yang terjadi di bumi, itu adalah reaksi mereka atas keteledoran kita.

Semesta telah memberikan segalanya, lantas mengapa kita tidak merawatnya?

Apa gunanya jabatan tinggi? Apa gunanya pendidikan tinggi? Tapi masalah lingkungan saja tidak peduli.

Memang benar, Adab dan Karakter itu tidak didapatkan dari ijazah-ijazah itu.

Selamat Malam Sabath

#Budaksemesta #pelayanpikiran

Rindu #5

Sepertinya kebosanan itu telah datang di ruang kantor. Saya pengen keluar dari rutinitas ini. Butuh angin segar. Mungkin harus liburan.

Terbesit di kepala, pengen kembali ke Jakarta lagi. Saya merindukan suasana di sana yang penuh dengan energik setiap harinya. Meski macet, dan penuh kesibukan tapi saya merasa waktu saya banyak terpakai untuk hal-hal yg berguna.

Dulu waktu di sana, memang tidak pernah terlintas untuk balik kampung. Pengen stay di sana. Namun, keadaan mengharuskan untuk kembali.

Kenapa ya? Kalau di facebook atau instagram, saya mampu menulis kan hal-hal yang lebih baik dibanding curhat tidak jelas begini.

Sudah hari ke-5, saya masih tidak punya bahan untuk dipublish 😀

Intinya sih, perasaan yang mewakili saya malam ini adalah “Rindu”. Entahlah saya merindukan apa. Yang ada dalam bayangan saya ada di Jakarta.

selamat malam jumat.

Kamar tidur, 06-02-2020

#budaksemesta #pelayan pikiran

Keterpaksaan Menulis di Hari keempat #4

Tidak bisa dipungkiri meski tidak ada penilaian bahkan keinginan untuk dibaca orang-orang, tetap saja ada rasa cemas jika tulisan ini hanya coretan tak berarti karena menulis itu perlu bahan. Dan keterpaksaan ini membuat tingkat malu saya betul-betul hilang.

Hari ini saya masih hidup dan bertahan lagi sampai esok. Tidak ada yang spesial yang bisa saya ceritakan tentang hari ini.

Kerjaan kantor sudah mulai berasa, tadi berniat mau menyicil mengerjakannya di rumah sepulang dari kantor. Eh ada godaan buat mampir karaoke. Sepertinya dia juga sedang dalam kondisi pusing, ya akhirnya saya ikutan teriak-teriak selama kurang lebih 3 jam.

Pulang kerumah sudah lumayan kelamaan dan saya cuma lapar dan ngantuk. Besok kerjaan numpuk.

Mungkin tulisan ini tidak menyampaikan apa-apa, tapi paling tidak saya melakukan apa yang sudah saya mulai.

Selamat Malam
salam bahagia dari kamar tidur, 05-02-2020

#budaksemesta
#pelayan pikiran

Rasa yang baru #3

Selasa hari ini lumayan nyaman terasa. Memang tidak seperti saat minum air pada siang-siang bolong di padang pasir di saat kehausan. Tapi rasanya seperti minum air di siang hari di dalam rumah. Di kantor terdapat suasana baru, mungkin karena sudah dapat teman ngobrol baru yang lumayan “gila” sehingga bisa menghibur suasana jiwa yang teracak seperti puzzle.

Sepulang kantor saya tidak langsung ke rumah. Mampir di pinggir laut menikmati angin laut dengan segelas saraba (minuman jahe) dengan gorengan ditemani teman. Teman yang satu ini memang tidak gila, tapi lumayan membuat adem seperti sedang berada di bawah pohon di siang hari.

Setiba di rumah, suasana rumah sudah mulai membaik. Tadi saya sudah sempat menyuntik bapak sekali. Saya tidak menanyakan kabarnya hari ini, tapi melihat raut wajahnya seakan berbicara “tenang, tidak usah risau, saya baik-baik saja”.

Dulu saya selalu merasa bahwa semua yang saya miliki akan pergi satu persatu, apapun itu cepat, lama, lebih lama, atau lebih cepat. Dan saya tidak pernah takut akan hal itu, karena saya itu siklus kehidupan memang seperti itu. Atau bahkan saya yang akan pergi terlebih dahulu.

Sekarang, ego “merasa tidak mau kehilangan” itu muncul. Ego semua harus tetap di sini itu muncul. Apakah karena sekarang tinggal serumah? Mungkin. Bisa jadi.

Jenis tulisan saya juga sudah berubah, saya lebih banyak curhat masalah pribadi yang selama ini saya anggap bukan suatu masalah. Ini siklus kehidupan yang wajar. Dulu setiap orang yang curhat masalah keluarga, saya selalu tersenyum dan diam. Saya merasa hidup itu memang begitu, hanya perlu dijalani.

Dan, kehidupan seperti itu saya rindukan. Saya tidak pernah peduli dengan apapun. Saya menjadi cengeng sekarang. Mungkin, memang lingkungan saya saat ini tidak membuat saya menjadi kuat. Entahlah.

Tapi hari ini saya bertemu dengan teman yang cukup membuat perut saya terisi, tidak kelaparan meski saya tidak kenyang. Minimal, saya masih bisa hidup untuk besok. Senyum yang mereka berikan cukup untuk buat hidup besok. Tidak sampai lusa. Kecuali mereka mengisi ulang besok baru bisa sampai lusa. Entahlah.

Tapi tidak juga, sapatau besok ada yang datang untuk memberi makan hingga bertahun-tahun. Yang pasti besok saya masih hidup. Yakin banget? Iya saya yakin, masalah nyawa dari Pemberi nyawa itu hal lain lagi.

Pengennya blog ini keisi dengan tulisan bernyawa, tidak seperti mayat hidup kayak sekarang, hanya saja saya tidak punya bahan. Otak saya entah karena sudah kosong atau memang sudah tidak berfungsi lagi untuk menulis seperti genre saya sebelum-sebelumnya. Entahlah.

Saya sudah ngantuk, nanti ketemu besok. Saya pun tidak tahu besok akan bercerita tentang apa. Bisa tentang esok, bisa tentang hari ini, atau tentang hari kemarin atau juga tentang impian masa depan. Entahlah.

Kita liat saja besok.

Selamat malam

Baubau, Ruang penenang, 04022020

#budaksemesta
#pelayanpikiran

30 hari menulis blog #2

Hari ini hari kedua setelah saya menantang diri saya untuk kembali menulis. Ada banyak hal yang ingin saya tuliskan mengenai hari yang lelah hari ini. Iya benar lelah.

Saya kehilangan kontrol, hari ini perasaan dengan penuh emosional. Saya baru sempat membuka laptop di pukul 23.35 WITA malam ini. Bapak saya hari ini kontrol kembali di rumah sakit. Hasilnya? Belum ada jawaban kapan dirujuk. Saya memang tidak mengantarnya, dikarenakan saya harus ke kantor di Pulau Seberang (Berbeda pulau dengan tempat saya tinggal). Setiap hari saya harus memakan waktu 1 jam kantor-rumah sehingga saya tidak bisa mengantar langsung bapak ke rumah sakit.

Ada yang berbeda dengan bapak, masuk chat adik saya pukul 16.02. Bapak tidak mau lagi minum obat,  Bapak juga tidak nafsu makan, lanjut chat adik saya.

Saya mulai kaku kembali, bingung harus bagaimana. Berasa pengen cepat-cepat pulang, tapi belum waktunya pulang. Kerjaan masih banyak. Karena perasaan ga enak, saya menelpon mama. Menanyakan apa yang terjadi, kenapa bapak menjadi seperti itu, apa yang telah bapak dengarkan. Kata mama tidak ada apa-apa, dan jangan tanyakan itu lagi.

Emosi mulai tak terkontrol, berusaha memperlihatkan kepada orang-orang kalau saya baik-baik saja. Saya sedang tidak baik-baik saja. Seberapa banyak masalah hidup datang, saya tak pernah selemah ini.

Saya meninggalkan tempat kerja pukul 17.00 WITA, tiba di rumah sekitar 18.00 WITA. Emosi saya yang sedang tidak stabil membuat saya malas berada di rumah. Akhirnya menghubungi salah satu teman yang bisa menemani keluar, minimal menunggu perasaan stabil baru balik rumah. Akhirnya kami pergi ke sebuah tempat makan.

Eh saya malah pecah di tempat makan, air mata tak terbendung. Ada banyak kisah yang terlewati hari ini. Mengenai kondisi bapak yang tidak dijelaskan secara detail oleh adik saya. Saya tak pernah curhat tentang keluarga sampai sedetail ini ke orang-orang.

Selama di tempat rantauan, tak seorang pun tahu mengenai keluarga saya. Saya tak pernah cerita sedikitpun. Saya bisa menahannya. Di sini, iya di sini. Saya ternyata lemah. Sangat lemah. Setelah menceritakan apa yang terjadi, perasaan mulai redah namun, dugaan saya benar. Percuma cerita sama orang, atau bahkan saya memang tak pandai memilih teman cerita.

Saya menemukan jawaban, mengapa selama ini saya tak pernah berani cerita sama orang-orang. Ya karena begini. Tak ada seorangpun yang memahami keadaan kamu, selain dirimu sendiri.

Disaat saya menuliskan ini, kondisi saya memang belum stabil dan masih berada dalam kuasa emosi saya.

Mungkin esok saya bisa menceritakannya dengan lebih bijaksana. Hari ini saya terpaksa menulis hanya karena saya telah berjanji untuk mengisi blog selama 30 hari. Dan pada hari ini saya berhasil melawan kemalasan saya untuk membuka laptop.

Selamat Malam

Ruang Menyendiri, 03-02-2020

#budaksemesta
#pelayanpikiran

 

 

 

 

Yuna kembali mengisi blog #1

aplod blog

Ternyata menulis itu sangat susah, benar sangat susah. Saya tidak pernah bisa konsisten dengan kegiatan satu ini. Tidak semudah dengan kesibukan saya di luar yang selalu konsisten dalam dunia sosial. Padahal saya tidak pernah dituntut untuk menulis dengan baik, tidak pernah dikejar deadline, tidak pernah dihukum hanya karena tulisan jelek, tetapi tetap saja sulit sekali untuk dilakukan.

Semoga percobaan kali ini berhasil. Saya akan mencoba menantang diri sendiri untuk menulis selama 30 hari di mulai dari hari ini. Saya akan bercerita tentang apapun, tanpa memperhatikan isi tulisan maupun kaidah penulisan.

Hari ini tepat tanggal 2 Februari 2020 (02-02-2020), tanggal yang mudah diingat. Ada yang spesial di tanggal ini. Bapak saya terlihat lebih membaik dari kemarin. Setelah 1 minggu saya menginap di Rumah Sakit karena bapak saya terkena serangan jantung pada Sabtu, 25 Januari 2020 lalu, akhirnya saya bisa tidur di kamar saya sejak sabtu kemarin. Sudah 2 malam saya berada di rumah. Ini menjadi hal yang tidak biasa semenjak 25 Januari lalu. 1 Minggu lebih saya tidak beraktifitas di luar rumah. Hanya rumah sakit dan rumah. Suatu hal yang sangat langka semenjak 12 tahun terakhir. Selama ini saya tidak pernah berhasil berdiam diri dalam ruangan dalam 1 hari, kecuali saya sakit itupun hanya bertahan 2-3 hari saya di dalam rumah atau kosan.

Kali ini berbeda, ada magnet yang luar biasa yang membuat saya betul-betul tidak berdaya selama di rumah sakit. Ada perasaan yang mengguncang luar biasa yang membuat saya seperti kaku dan kebingungan harus berbuat apa.

Melihat bapak yang tiap waktu disuntik bahkan hingga hari ini. Bedanya kalau di rumah hanya suntik sama minum obat saja. Sewaktu di RS, kabel-kabel yang banyak itu selalu melekat di dadanya. Bahkan saya tidak tahu bagaimana kerja kabel-kabel yang menganggu pemandangan ini. Saya hanya bisa melihat dan mengharap bahwa semua akan baik-baik saja.

Selama 1 minggu di RS, saya banyak merenung. Sedikit demi sedikit, saya sadar kenapa saya kembali ke rumah setelah 10 tahun merantau di Pulau lain. Selain itu, waktu saya bersama mama dan bapak menjadi panjang karena berada di satu ruangan yang sama selama 1 minggu. Mama juga banyak cerita tentang masa kecil dan masa mudanya yang selama ini saya tidak pernah tau ceritanya. Saya sadar, saya tidak sedekat itu sama mereka. Saya sadar, saya terlalu lama di luar.

Saya terlahir sebagai anak perempuan satu-satunya, dengan 2 kakak laki-laki dan 1 adik laki-laki, tetapi justru saya yang tidak tinggal di rumah. Semenjak lulus SMA saya merantau ke Jakarta dan pada akhirnya balik di 2018 akhir. Alasan saya balik juga karena bapak yang meminta saya untuk pulang kerja saja di kampung halaman. Saat itu, iya saat itu saya sangat berat. Saya sudah nyaman tinggal di pulau nan jauh itu. Saya bebas berekspresi, saya bebas melakukan apa saja yang saya mau. Saya bebas pulang jam berapa saja. Saya bebas tiap pekan untuk pergi liburan di mana saja.

Awal saya balik, saya merasa tidak nyaman. Mungkin masih ada hingga sekarang tapi tidak seperti awal balik dulu. Kebiasaan saya berubah total, yang tadinya saya tidak punya jam malam, sekarang ada aturan itu. Yang tadinya saya bebas memilih mau makan apa saja, eh di sini makananya tidak beragam. Yang tadinya tiap weekend saya sudah punya tiket untuk naik bis, atau kereta, atau kalau lagi banyak duit ya naik pesawat untuk berjelajah, sekarang malah untuk nginap di rumah sepupu saja susahnya minta ampun. Ada banyak hal yang berubah dengan kehidupan saya semenjak tinggal di rumah mama dan bapak.

Tidak terasa sudah setahun juga saya kembali. Setahun kemarin, ada banyak hal yang terjadi. Sangat banyak. Ada banyak hal-hal indah maupun kurang enak dikenang terjadi di tahun 2019. Bisa jadi dalam waktu 30 hari kedepan, perjalanan saya selama 2019 akan saya tuliskan di blog ini.

Baubau, 02022020

Yuna

#budaksemesta
#pelayanpikiran

Afi, Saya juga pernah Plagiat.

Tekait dengan berita yang lagi panas baru-baru ini, seketika saya juga ingin ikut nimbrung dengan berita tentang Afi Nihaya Faradisa yang sering disapa Afi di akun facebooknya. Postingan-postingan di akun facebooknya memang menarik perhatian, kenapa tidak? Seorang anak yang masih duduk di bangku sekolah mampu menuliskan pemikiran-pemikiran yang luar biasa tentang kondisi bangsa. Sayangnya Afi ini ditemukan melakukan plagiat. Sebenarnya sih saya tidak masalah dengan “plagiatnya” meskipun hal ini memang tidak dibenarkan. Hanya saja posisi dia sebagai anak SMA yang mau membaca dan melakukan copy paste atas tulisan-tulisan berat itu tidaklah banyak ditemukan.

Saya mengikuti akun facebooknya kurang lebih setahun. Apa yang ditulisnya sebenarnya sudah sering saya baca atau pahami sebelumnya karena saya tau yang memiliki pemikiran seperti dia ini sebenarnya banyak hanya saja tidak diekspose dan mungkin usianya jauh lebih tua di atas Afi. Afi terkenal karena dia berani dan mampu menuliskan hal-hal yang dianggap tabuh oleh kebanyakan orang atau ditentang oleh sekelompok orang karena tulisannya yang begitu kritis dan blak-blakan terhadap kondisi bangsa ini dimana usianya yang masih belia.

Beberapa kasus yang dibeberkan baru-baru ini yaitu Afi melakukan plagiat atas postingan akun facebook Mita Handayani. Sewaktu membaca “agama kasih” itu sebenarnya saya juga telah tau bahwa tulisan tersebut pernah saya baca. Kemudian tulisan tentang “Warisan” saya juga sudah tau kalau pola pikir itu pernah di share oleh mba Mita dalam bentuk video. Dan pada saat saya membaca tulisan Afi tentang “Warisan”, saya tiba-tiba teringat video yang pernah saya share dari Mba Mita tersebut, seketika saya mencari lagi video tersebut dan saya share kembali. Itu memberikan tanda bahwa pemikiran yang ditulis Afi sebenarnya telah banyak di Indonesia ini. Terkait hal ini saya bukan melihat dari sisi plagiatnya. Tapi justru melihat bahwa ada seorang anak yang masih SMA namun membaca tulisan-tulisan berat sekelas mba Mita Handayani. Saya juga pengikut akun facebook Mita Handayani, dan saya tau gaya tulisan Mba Mita ini bukan tulisan yang membahas cerita-cerita untuk anak kelas SD, SMP dan SMA tapi jauh lebih dari itu karena tulisannya berat. Bahkan tulisan Mba Mita ini akan dipandang sesat jika orang yang membacanya tidak mampu mencerna dengan baik.

Kesalahan Afi mungkin melakukan copy paste tanpa memberikan sumber. Saya memang kadang terinspirasi dari Mba Mita, terbukti ada tulisan saya di blog ini yang mengcopy paste tulisan Mba Mita. Tapi saya tau betul, bahwa tidak semua tulisan Afi ini adalah hasil copy paste. Kenapa?  Karena ada beberapa tulisannya yang menuliskan kegiatan yang dilakukannya di sekolah. Dan tulisannya itu dikemas juga dengan rapih, menandakan dia memang banyak membaca. Seseorang yang banyak membaca pasti akan kaya dengan kosa kata.

Banyaknya kecaman dan bahkan ada yang membanding-bandingkan atas penghargaan yang didapat oleh Afi karena panggilan ke istana dengan seorang anak kecil yang berhasil mengharumkan nama bangsa indonesia atas ajang tertentu tapi tidak dipanggil ke Istana. Saya rasa keduanya kurang layak jika dibandingkan. Dua-duanya adalah masa depan bangsa Indonesia, bukan cuma Afi tapi seluruh anak muda di Indonesia merupakan calon pemimpin masa depan. Panggilan Afi ke Istana bukan karena pilih kasih, tapi karena Afi mampu membuka mata dan mampu membuat seluruh para pecinta sosmed dapat menjadi dua kubu antara pro dan kontra (diluar kasus plagiat, masalah plagiat biar jadi pembelajaran untuknya). Panggilan Afi ke Istana bukan semata-mata hanya penghargaan tapi Pak Presiden pasti punya alasan tertentu atas ini, baik itu terkait masalah politik internasional ataupun politik dalam negeri.

Saya bahkan kadang kaget melihat tulisan Afi yang anak SMA begitu dewasanya dalam berfikir. Jangan karena beberapa tulisan kita sebagai orang yang paham malah menghakimi. Kenapa saya mengatakan ini, karena saya di saat usia seperti Afi belum terlalu tertarik dengan bacaan kelas atas (bacaan berat terkait bangsa, negara, ataupun ideologi). Saat saya seusia Afi pun (sewaktu SMA) saya masih hobi plagiat, karena ilmu tentang plagiat juga saya baru dapatkan setelah saya duduk di bangku kuliah. Jangankan seusia Afi, di saat sekarang pun saya masih belum sanggup kena kritikan ribuan bahkan jutaan orang seIndonesia atas tulisan yang saya perbuat, apalagi mendapat cacian, makian, dan hujatan lainnya.

Saya bayangkan jika saya masih seusia Afi dan saya menerima banyak hujatan, mungkin saya langsung berhenti sekolah. Ada masalah dengan satu guru saja buat saya tidak bisa tidur apalagi bermasalah dengan masyarakat seluruh Indonesia.

Kurang bijaklah saya rasa jika kita yang berusia di atas Afi ikut mencekam dan menghujat, bukan malah memberikan didikan bahwa “PLAGIARISME ITU TIDAK DIBENARKAN”. Jangan membuat orang berhenti menggapai cita-citanya hanya karena ketidakpahaman seorang anak yang masih di BAWAH UMUR.

Terbesit dipikiran saya, kalau memang semua tulisan Afi adalah plagiat, mending seperti itu. Asal tulisan berikutnya Afi dapat mencantumkan sumbernya. Tidak apa Afi kamu melakukan copy paste sebanyak-banyaknya asal kamu tulis sumbernya, karena kenyataanya kebanyakan dari kita memang malas membaca, malas membuka buku sehingga hanya mau membaca statusmu saja. Biarkan statusmu jadi media atas buku-buku atau tulisan-tulisan yang telah kamu baca.

#hanyasekedaropini

Jakarta, 6 Juni 2017