Hari ini adalah hari ke-9 saya menulis. Wah 21 hari lagi itu ternyata masih sangat lama.

Saya akan melanjutkan perjalanan saya dengan SJD dari cerita sebelumnya.

Setiap minggu saya disibukkan untuk mempersiapkan kelas SJD dengan mencari mentor-mentor profesional di bidangnya. Namun, di perjalanan ternyata tujuan saya membangun SJD memiliki pandangan yang berbeda dengan Ketua.

Saya yang selalu terjun di lapangan bersama teman saya. Dia mengurusi anak SD, sedangkan saya anak SMP. Kami yang berhubungan langsung dengan mereka tiap minggunya.

Di bulan Desember, untuk memperingati hari Ibu kami berinisiasi untuk merayakannya dengan cara membuat kegiatan dalam bentul Lomba masak-masak Ibu dan anak. Tujuannya, untuk lebih mendekatkan para Ibu dan anak.

Pada saat mengundang ibu dari anak-anak ini, saya dan teman saya itu membagi tugas untuk berkunjung ke rumah anak-anak ini karena jumlah anak yang lumayan banyak dan tidak bisa dilakukan dalam waktu 1 hari saja kalau tidak dibagi tugas.

Saya ke rumah mereka masing-masing, dan hasilnya…..

Mereka kebanyakan memang berasal dari keluarga marginal. Ada Ibu dari anak mereka bilang, “saya tak punya baju untuk kegiatan ini”. Miris dengarnya saat itu dia katakan dalam ruangan sekitar 4x3m di dalamnya sudah ada kompor dan kasur sekaligus bak rumah kos-kosan yang berisikan ayah ibu dan empat orang anak.

Ada juga rumah yang saya datangi, berdinding papan, beratap jerami. Ketika saya mengucapkan salam, tiba-tiba keluar Ayahnya dan mengatakan “anak saya jangan diajak-ajak belajar, dia sibuk menjual”. Saya belum mengucapkan sepatah kata pun, pintu rumah itu tertutup kembali.

Melihat ini, saya semakin ingin membantu anak-anak ini belajar dan ingin mengajak orangtuanya saling bekerjasama.

Namun, dalam perjalanan. Saya selalu saja beradu pendapat dengan pengurus lain. Mereka mau membuka iuranlah, menjadikan kayak tempat kursuslah, merekrut siswa barulah, dan lain-lain.

Makin lama, saya makin tidak sejalan. Mereka kebanyakan konsep, tapi untuk turun di lapangan langsung mereka enggan. Sudah saya ceritakan kondisi anak-anak ini, tapi mereka tidak peduli. Pada saat puncaknya, saya saat itu kena cacar harus istrahat di rumah selama 1 minggu lebih.

Saya tidak sempat untuk mengurusi anak-anak ini. Dan yang terjadi, tanpa saya?
Makin kacau. Kelas tidak berjalan. Dan anak-anak terlantar.

Saya semakin geram, pada akhirnya saya keluar tanpa berdiskusi dengan baik-baik. Bukan tanpa alasan, di grup Whatsapp saya terus bekoar-koar tapi tidak ada yang peduli. Ternyata teman yang sepaham dengan saya ada beberapa orang ikut juga keluar dari SJD itu.

Bagaimana setelah saya pergi?

Anak-anak itu sekarang tergantikan sama anak-anak orang kaya. Anak-anak kemarin yang setengah mati saya perjuangkan, ditinggalkan begitu saja.

Hingga saat ini, saya masih merasa punya hutang dan beban moral sama mereka.

Ruang Ketiduran, 10 Februari 2020

#Budaksemesta
#Pelayanpikiran
#Buruhtulisan

 

Tinggalkan komentar