Blog

Marah, Hati, dan Pikiran

Untuk mengatakan sakit “hati” yang selalu saya katakan tidak cocok dan seharusnya diganti menjadi sakit “pikiran” itu nyatanya memang tidak mudah. Begitu luar biasa rasa ini, ketika apa yang saya harapkan tidak sesuai kenyataan, ada rasa yang begitu mengganjal. Entah dari mana rasanya, di kepala kah atau di dalam dada yang selalu orang katakan “sakit hati”. Tepat hari ini saya merasakan jiwa saya bergejolak antara yang diharapkan dengan kenyataan terjadi begitu berbeda.

Saya “marah”. Hari ini saya marah dikarenakan seseorang yang saya percayakan untuk menyimpan suatu cerita tentang saya, ternyata dia menceritakan juga ke orang-orang sehingga satu ruangan tahu cerita itu. Lantas saat ini, apa yang sakit sebenarnya? Apakah benar “hati” saya?

Saya mencoba untuk mempelajari diri saya sendiri, bagaimana emosional saya mempengaruhi prilaku saya. Susah senyum, cemberut, saya berpikir bahwa saya sedang marah dan kecewa. Saya kembali memahami lebih dalam apakah saya benar-benar sakit hati atau pikiran.

Tahukah apa yang saya lakukan? Saya mencoba berpikir lebih positif, bahwa kejadian itu tidak penting. Itu hal yang wajar, itu sebagai pembelajaran bahwa benar adanya manusia memang sedikit usil, hal kecil jangan saya besar-besarkan dan saya harus bijaksana.

Dan apa yang terjadi? Setelah saya mencoba berkompromi dengan pola pikir saya, rasa amarah itu perlahan menghilang. Dan benar adanya rasa marah itu, kita sendiri yang kendalikan. Seberapa bisa kita menggunakan otak dalam mengatur emosional kita. Dan pernyataan saya saat ini masih sama seperti kemarin yaitu memang yang sakit bukan hati tapi pikiran kita sendiri yang tidak mampu kita kendalikan.
Jakarta, 31 Mei 2017

 

Hijab dan Cantik

Sudah sekitar satu minggu saya memasang foto profil di salah satu akun “chat” saya yang menggunakan hijab. Banyak sekali yang berkomentar “kamu cantik kalau pakai hijab”. Jujur yang mengatakan itu lebih dari sepuluh manusia. Siapa yang tidak senang dikatakan cantik oleh banyak orang.  Cuma yang jadi permasalahan di sini, saya tahu maksud terselubung dari pujian itu.

Maaf kalau saya harus mengatakan pendapat saya ini. Jikalau hanya karena hijab membuat orang terlihat cantik, lantas itukah tujuan orang berhijab? Bukan kah kecantikan tidak perlu diumbar? Kalau hanya untuk dikatakan cantik dan dipuji banyak orang, gampang saya tinggal mengenakannya setiap hari. Apakah pakaian saya tanpa hijab adalah pakaian tidak senonoh, tidak sopan, tidak layak dipandang, atau mengundang kejahatan?

Jika hijab itu kewajiban seluruh umat islam, berarti tidak ada hubungan kan masalah cantik atau tidaknya? tidak ada hubungan kan masalah baik buruknya prilaku seseorang? Kapan kah ada panggilan untuk menggunakan hijab? Apa alasan ada ayat yang menurunkan itu? Lantas sebelum ada panggilan hijab itu datang, apakah saat itu para wanita belum menggunakan hijab?

“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka menjulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenali, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzaab: 59)

Sudah sering saya mendengar, bahwa wanita tanpa hijab akan disiksa di alam kuburnya atau bahkan akan merambat ke orangtua maupun suaminya.Tapi benarkah ancaman semacam itu ada dasarnya? Bagaimana bisa selembar kain berkaitan dengan moralitas? Bagaimana jika seorang yang justru tanpa hijab bisa menjadi rahmat bagi alam dibanding yang menggunakan hijab?

Okelah kalau memang tidak ada tawar menawar dengan hijab, tapi alangkah lebih baik mungkin jika tidak menggunakan kata “cantik” sebagai alasan menggunakannya. Kalau malah sering dikatakan cantik, saya justru lebih memilih tidak menggunakannya. Kenapa? Karena saya tidak mau mengumbar kecantikan di hadapan banyak orang :D.

Jakarta, 30 Mei 2017

 

Hati vs Pikiran (1)

Jadi begini ceritanya, dulu sewaktu saya belum tau makna sesungguhnya kata “hati”, saya sering galau, apalagi pas putus dari pacar (saya juga pernah jadi anak alay, eh mungkin sampe sekarang. hehe). Lama kelamaan saya berpikir apakah benar hati saya sakit? Sembari menyari terus sumber dalam ilmu kedokterannya ternyata yang sakit bukan hati kita secara fisik. Karena hati secara fisik itu merupakan salah satu organ penting dalam tubuh kita yaitu liver. Kemudian terus kenapa ada yang sakit “hati” ketika putus cinta, kecewa, marah, atau ada rasa puas, senang atas kemenangan dan kebahagiaan. Sebenarnya dari mana rasa itu ada? Benarkah “hati atau liver” itu?

Ternyata tidak. Semua yang berhubungan dengan emosional tentang rasa kecewa, marah, senang, iri, dll itu berpusat dari akal pikiran atau sistem otak kita sendiri. Bagaimana melihatnya?

Coba kita bandingkan dua orang yang teraniaya, Pernahkah melihat ada yang betul-betul depresi hingga menjadi orang gila dan ada yang tetap tegar? Bagaimana kira-kira mereka mengatasi kondisi emosional mereka? Hal ini karena mereka ada yang menggunakan akal sehat mereka ada juga yang tidak. Bagaimana dengan orang yang kelihatan tetap tegar alias cuek dengan semua masalah? Apakah dia tidak pernah merasa “sakit hati”? Bukan karena tidak sakit hati tapi mereka mampu mengendalikan emosi mereka.

Nah saya sendiri bagaimana? Jadi begini, karena saya hidup dengan pikiran saya, bukan karena kata hati. Emang yakin hati bisa berfIkir dan bisa berkata-kata? Dalam ilmu biologis tidak ada yang bisa menjelaskan tentang itu. Kalau suka ada yang mengatakan, ikuti kata “hatimu”, coba renungkan dan pikirkan baik-baik, bukan kah itu berasal dari pikiranmu sendiri?

Kemudian apa yang mempengaruhi pikiran saya? Jelas dari ruh ilmu yang saya makan setiap hari atau bahkan sudah bertahun-tahun lamanya yang melekat dalam pikiran saya. Yang membuat itu menjadi sebuah tindakan yaitu karena jiwa/soul/semangat/spirit yang mendorongnya menjadi sebuah action. Kenapa ada kata sakit “hati” itu karena adanya benturan antara kenyataan dengan pikiran kita. Sebenarnya bukan hati yang sakit, tapi pikiran. Hal ini terjadi karena tidak tercapainya “nafs” yang terletak di otak kecil tapi mampu mempengaruhi secara total otak yang lain. Jadi yang tindakannya aneh-aneh, itu karena makanan yang masuk dalam otaknya juga pasti aneh-aneh atau dia yang kalah dengan “nafs”nya. Kita sering juga mendengar kalau ada kejahatan atau kekerasan, pasti akan ada yang bilang “dasar manusia tidak punya hati”. Kalau kasus ini bagaimana? Kembali lagi, karena otak mereka sudah rusak. Sudah sering diisi dengan yang buruk-buruk di dalam pikirannya.


Jadi tindakan kita adalah produk dari pikiran kita sendiri. Itulah gunanya ilmu sebagai makanan bagi pikiran agar menghasilkan produk tindakan.
Kebiasaan baik dan buruk itu muncul dari pikiran yang dilakukan terus berulang-ulang sehingga menjadi tabiat. Untuk merubahnya tentu tidak mudah. Kenapa?
Bayangkan saja jika selama ini kamu makan nasi putih setiap hari tiba-tiba diganti dengan nasi merah, jagung, ubi atau singkong. Sanggupkah kamu? Meskipun sudah jelas dari segi ilmu pengetahuan bahwa terlalu banyak makan nasi putih itu tidak baik, silahkan bandingkan sendiri kandungan antara singkong, ubi, nasi merah dan jagung dengan nasi putih. Kenyataannya banyak yang tidak sanggup meninggalkan nasi putih meskipun mereka sudah mengetahui ilmunya.

Begitu juga otak, jika sudah terbiasa dengan makanan yang seperti “itu” tiba-tiba ada ilmu yang mematahkan pemahaman lamamu. Bisakah kamu? Sebenarnya kamu mau menerima karena akal sehatmu tidak bisa membantahnya, tapi nafs atau ego mu yang terlalu besar dapat mengalahkan ilmu tersebut.

Belajar itu penting, karena jadi orang bodoh atau tuna literasi itu sangat merugi.

Tulisan ini hanya revisi sedikit dari tulisan yang pernah saya post di akun lain.

Jakarta, 23 Mei 2017

My Destination (Kata Pengantar) – Lanjutan Bab Pendahuluan

Jadi begini, pertama kali ke Jakarta saya sangat terkejut dengan kehidupan yang menampilkan kesenjangan sosial secara nyata di depan mata. Setiap hari saya ke kampus jalan kaki melewati banyak rumah-rumah, pedagang asongan, gedung-gedung tinggi, dan pengemis di jembatan penyeberangan. Kampus saya sangat dekat dengan mall, sehingga setiap hari mata saya dihiasi dengan pemandangan dari masyarakat golongan low hingga yang paling high class.

Lama-lama kelamaan saya terbiasa dengan pemandangan tersebut. Tetapi pernah suatu hari saya melihat ada mobil satpol PP mengamankan jualan-jualan di pinggir jalan dan jembatan penyeberangan. Hal itu membuat saya miris, saya berpikir apa yang bisa saya perbuat untuk membantu mereka dengan kondisi saya hanya seorang mahasiswi yang uang kuliahpun dibayarkan oleh donatur (bukan orangtua).

Hari demi hari terlewati, biasalah yang namanya anak kuliah yang merantau pasti ingin berkeliling-keliling di Ibu kota. Saya pertama kali mencoba naik kereta Jabodetabek yang saat itu masih ada kereta ekonomi tidak seperti sekarang jauh lebih baik. Di situ saya memperhatikan semua gerak-gerik manusia yang ada. Ada tukang bersih-bersih yang tidak bisa berdiri sedang menyapu lantai kereta dan ada beberapa penumpang yang memberinya recehan (ini bikin nyesek juga, dalam pikiran berkata “Oh Tuhan, manusia-manusia seperti ini nyata ya”, karena saya kira hanya ada dalam TV. Harap maklum di kampung saya, saya tidak pernah melihat yang seperti ini).

Semakin lama, saya semakin risih. Saya mulai meragukan keberadaan Tuhan. Pemandangan itu membuat saya tidak tenang untuk tidur. Saya bisa apa untuk membantu mereka. Sampai suatu hari saya bertemu dengan seseorang yang mengajak saya untuk diskusi tentang kondisi bangsa ini. Momennya pas sekali di saat saya pusing memikirkan kondisi bangsa dan ada yang mengajak diskusi yaitu dari teman bernama Miss “D”. Sebenarnya saya kenal Miss “D” karena dikenalkan oleh teman sekaligus sahabat saya di kampus sebut saja Miss ‘L”.

Alasannya saya dikenalkan karena saat itu Miss “D” mengaku sebagai anak psikolog UI yang lagi melakukan penelitian tentang kenakalan remaja. Miss “D” membutuhkan seorang responden yang syarat respondennya bebas dari Narkoba, Tidak pacaran, dan Tidak merokok. Teman kuliah saya yang bernama Miss “L”  tersebut tidak memenuhi satu kriteria yaitu tersebut memiliki pacar.

Akhirnya teman kuliah saya Miss “L” memberikan nomor Hp saya ke Miss “D” (saat itu belum menggunakan bbm, belum ada WA, line, dll, bahkan akun facebook saja saya belum punya), jadi komunikasi via sms saja. Singkat cerita saya bertemu dengan Miss “D” dan kami berbincang banyak tentang kondisi bangsa ini. Wawasannya cukup luas membuat saya semakin penasaran mencari tahu dan kebetulan dia asli Jakarta sehingga saya juga ingin bertanya lebih lanjut tentang kesenjangan hidup yang terjadi di Jakarta.

Miss “D” ternyata memiliki guru spiritual. Pada akhirnya saya bertemu dengan guru spiritualnya dan belajar banyak dari mereka, kebingungan saya tentang hidup mulai terbuka sedikit demi sedikit. Saya yang tadinya aktif di kegiatan theater dan paduan suara kampus, menjadi tidak aktif karena saya lebih aktif dengan kegiatan sosial di luar kampus.

Dari situ saya sering ikut-ikut kegiatan-kegiatan aneh. Kenapa aneh? Karena teman kuliah saya banyak yang tidak tertarik ketika saya ajak. Dan mereka menasihati saya untuk tidak sembarang percaya sama orang baru dan jangan mau dicuci otak dengan komunitas-komunitas yang aneh, apalagi saya perantau yang hidup hanya sendiri tanpa sanak saudara di pulau orang. Saat itu, saya tidak bisa mengikuti nasihat teman saya karena dalam akal sehat saya, itu bukan keanehan tapi itu informasi yang perlu dikaji. Mungkin komunitas Miss “D” memanfaatkan rasa keingintahuan saya sehingga saya mudah dipengaruhi saat itu (begitu kata orang-orang sekitar saya). Mulai dari sinilah perjalanan spiritual saya dimulai. Saya memulai memasuki komunitas-komunitas aneh yang bahasa kekiniannya “sesat”. Dari situ pemikiran saya mulai berbeda dari kebanyakan orang. Dari situ juga teman-teman kampus saya mulai menjaga jarak dengan saya. Hingga pada akhirnya saya pernah di sidang oleh Ketua BEM kampus dan bagian kemahasiswaan.

Tahukah kamu bagaimana perasaan saya di kampus tanpa teman? Setiap orang yang melihat saya, tatapan mereka seakan-akan saya teroris. Hahaha. Awalnya saya sempat down, karena saya hidup sendiri di Ibu Kota dan saya juga harus berjuang dengan kuliah saya (saat itu kalau nilai jelek, resiko beasiswa saya dicabut). Kuliah dengan kondisi psikologis seperti itu, jujur sangat menganggu tapi “life went on”. Saya mampu melewatinya dengan tetap mendapat nilai yang distandarkan kampus meskipun saya memang tidak cumlaude.

Dari situlah saya belajar teologi baik dari Islam, Kristen, Yahudi bahkan Hindu dan Budha. Kepercayaan saya akan Tuhan bukan semakin jelas tetapi malah semakin kabur. Saya terus mencari siapa itu Tuhan? Kenapa ada banyak agama di dunia ini? Kenapa saya ditakdirkan memeluk agama Islam. Apakah saya kalau dilahirkan di keluarga lain atau negara lain saya akan tetap memeluk agama Islam? Jikalau Tuhan umat Islam, Kristen, Yahudi, dll yang disembah itu berbeda-beda, apakah Tuhan mereka saling beradu, bertengkar, berdebat tentang wilayah kekuasaan umatnya masing-masing di atas sana? Atau jika Tuhan yang kami semua sembah merujuk pada Tuhan yang satu, kenapa kami mesti berbeda? Apakah benar memang Tuhan yang menurunkan agama? Atau hanya manusia yang menciptakannya demi menjaga kestabilan kehidupan di bumi.

Saat manusia lahir di muka bumi ini, apakah ada tanda yang diberikan pada bayi bahwa Tuhan dia adalah A, B, atau C, dst. Pada kenyataannya agama yang dipeluk oleh bayi itu dengan sendirinya mengikuti agama yang dianut oleh orangtuanya atau yang mengasuhnya. Tuhan sama sekali tidak menurunkan agama.

Apakah semua manusia yang dibekali akal pikiran itu akan memikirkan hal yang sama seperti yang saya pikirkan saat itu? Kenyataannya juga tidak semua sama. Lantas Siapa Tuhan? Kenapa Dia yang katanya yang berkuasa di muka bumi ini memberikan masalah sekompleks ini di muka bumi?

Dari kecil saya ditanamkan bahwa Tuhan adalah Maha Pengasih dan Penyayang. Tapi ketika saya mulai memikirikan ini saya justru tidak melihat Kasih dan Sayang itu. Kasih dan Sayang itu ternyata banyak yang salah tempat. Tuhan tidak ada. Kenapa saya mengatakan ini? Bukti nyata banyak dipertontokan tepat di depan mata saya. Itu yang saya lihat setiap hari ketika ke kampus, para pedagang asongan ada yang tidur di pinggir jalan, para pengemis tidur di halte, trotoar, dan masih banyak lagi. Haruskah saya mengatakan bahwa mereka pemalas? sehingga hidup mereka seperti itu. Kemudian saya rajin karena hidup saya lebih baik dari mereka? Atau karena takdir saya yang dilahirkan dari orangtua yang cukup untuk menyekolahkan saya? Bisakah saya memilih takdir untuk lahir dari rahim siapa? Anak-anak kecil yang dijadikan pengemis oleh orang tuanya itu, apakah benar kehendak Tuhan dimana seorang bayi yang tidak bersalah ketika lahir dari keluarga kelas bawah kemudian tidak bisa sekolah yang akhirnya jadi korban untuk ikut mengemis? Apakah di sini ada Kasih dan Sayang Tuhan? Apakah ini Kasih Sayang Tuhan pilih-pilih tempat? Di mana Tuhan ketika banyak anak kecil tak berdosa menjadi korban peperangan, kekerasan, dll? Di mana Tuhan ketika semakin banyak yang lahir dari keluarga tidak mampu kemudian menjadi anak jalanan di pinggir jalan sana?

Saya menyadari pencarian Tuhan tidak secepat itu dan tidak semudah itu. Dalam konteks ini saya ingin mengatakan, kenapa dalam sejarah menuliskan bahwa nabi-nabi menemukan Tuhan di saat usia mereka sudah matang bukan saat kecil? Itu karena saat mereka masih kecil, keyakinan mereka adalah bawaan dari orangtua atau pengasuhnya.

Bagaimana perjalanan spiritual saya sejak sembilan tahun yang lalu? To be continued.

Senin, Jakarta 22 Mei 2017

Tuhan? Siapa itu?

Pencarian Tuhan itu tidak akan habisnya, ya selama bumi ini masih ada, ya berarti akan dibahas trus..

Ibrahim pun galau tentang Tuhan, Musa juga, Isa juga, bahkan Muhammad sekalipun dibuat pusing. Tapi apakah kita harus menghindar dan pura-pura tidak tau, atau hanya mau terima mentah-mentah saja tanpa mempelajarinya.

Ada yang menyeru kebaikan dari orang yang Anda tidak kenal, tidak ada hubungan darah, bahkan beda suku, keturunan, atau etnis, kemudian orang tersebut dengan Percaya Diri menyatakan dia datang membawa kebenaran. Apakah Anda percaya dengan orang tersebut? Bagaimana rasanya kira-kira ketika Muhammad menyeru kebaikan jikalau Anda hidup di zaman Muhammad? Ada jaminan kah Anda mempercayai Muhammad, mau mengikuti seruannya bahkan berikrar bahwa dia seorang rasul utusan Tuhan?

Muhammad mengenal Tuhan yang sesungguhnya di umur berapa? Apakah sebelumnya dia manusia tak berTuhan? Kenapa Muhammad datang membawa kabar gembira? Kenapa dia selalu disebut penyempurna? Apakah Nabi sebelumnya tidak sempurna?Tuhan tidak adil dong jika yang sebelumnya dikatakan tidak sempurna. Jarak Kitab sebelumnya dengan Al-Quran begitu terlampau jauh. Apakah Tuhan harus menunggu selama itu untuk mendatangkan penyempurna? Untuk apa kehidupan sebelumnya jika memang tidak sempurna?

Siapa Tuhan? Kenapa seenaknya mendatangkan rasul yang membuat semua umatnya saling menghujat karena merasa paling benar? Siapa Tuhan itu, kenapa menciptakan akal di mana akal itu sendiri bebas tanpa batas? Siapa sih Tuhan itu, Dia menciptakan keberagaman di bumi, tapi ciptaannya sendiri tidak sadar atas keberagaman itu?

Katanya, Tuhan sudah dikenalkan oleh para Nabi-nabi terdahulu. Namun kenapa setiap Nabi selalu memiliki pengalaman tersendiri dalam menemukan Tuhan, Kenapa Nabi selalu diutus di setiap peradaban? Kenapa tidak satu Nabi atau satu Utusan saja agar pusat teladan manusia berpusat ke Satu Nabi (Utusan) itu? Pada akhirnya yang terjadi seperti sekarang ini di mana masing-masing Utusan memiliki umat yang berbeda-beda dikarenakan rentetetan sejarah setiap Utusan tersebut terpisah oleh waktu berabad-abad yang membuat keyakinan manusia sekarang terpecah belah.

Jarak Nabi terakhir dengan zaman sekarang begitu terlampau jauh, Bagaimana Anda yakin Anda yang paling benar? Kenapa setiap golongan yang berbeda-beda itu masih hidup hingga sekarang jikalau sudah ada yang benar yang datang terakhir? Kenapa Tuhan tidak musnahkan saja yang salah itu, jikalau memang ada yang salah dan benar? Segitu rumitnya kah Tuhan itu? Segitu susahnya kah untuk mengenal siapa Tuhan? Ya Sudah pasti susah ya kalau masalah susah, seorang utusan saja pusing dibuatnya apalagi hanya manusia remehhremehmpeyek.

Haruskah setiap manusia mengikuti jejak para suri teladan dalam pencarian Tuhan, atau harus dengan pasrah begitu saja menerima deskripsi Tuhan yang melekat puluhan tahun dalam otak kita dari orangtua?

Bandung, 16 Mei 2017

Si Pelayan Pikiran Mulai Bertingkah (Pendahuluan)

Setiap menulis saya terbiasa langsung to-the-point. Mungkin karena saya hanyalah penulis status di facebook tanpa mengerti kaedah penulisan. Hahaha. Kali ini ingin sedikit mundur ke belakang sekitar sembilan tahun yang lalu.
Maafkan tulisan yang hancur nan bodoh ini.

Saya bukan ahli teologi, saya bukan lulusan pesantren, dan saya juga bukan sarjana Agama. Tapi kenapa saya tertarik menulis tentang keyakinan? Ada yang salah? Ada yang keliru? Kenapa saya tidak membahas bidang yang sesuai jurusanku saja *kebanyakan kata orang-orang seperti ini padaku.

Bukan masalah bidang saya atau bukan. Tapi selama saya masih manusia, yang merupakan ciptaan Tuhan yang kita sebut namanya berbeda-beda itu, saya berhak mempertanyakan siapa saya, benarkah Tuhan yang menciptakan saya atau sebaliknya hanya saya yang menciptakan tuhan. Atau keduanya berbeda antara Tuhan yang menciptakan saya dengan tuhan versi saya.

Saya berangkat membahas ini bukan tanpa sebab, bukan karena sekedar ikut-ikut kekinian seperti kebanyakan orang yang SOK tau tentang agama. Saya belajar pendidikan Agama Islam di sekolah sejak SD hingga SMA. Tapi apakah saya khatam? Ternyata tidak, masih sangat jauh.

Saya punya pengalaman pribadi sendiri tentang ini, yang pada akhirnya semakin banyak dunia yang telah saya masuki dan jelajahi justru membuat saya semakin bingung atas tujuan dari agama yang sebenarnya? Siapa yang membawa agama?

Dari situ saya mulai mempertanyakan sebenarnya apa tujuan dari agama itu sendiri? Yang ada di kacamata saya kebanyakan orang hanya mengetahui kulitnya saja, tanpa mengetahui isinya bagai buah yang diketahui hanya kulitnya saja sedangkan rasa buahnya, bagaimana warna buahnya, bagaimana ukuran buahnya, ada bijinya atau tidak, bijinya bisa dimakan atau tidak, seberapa besar buahnya dan seberapa besar bijinya (jika memiliki biji), bagaimana teksturnya dan lain-lain itu tidak diketahui dengan pasti.

Awalnya saya berangkat dari kasus agama tersebut, namun kemudian saya berjalan-jalan semakin jauh. Dan pada akhirnya saya bertualang lebih jauh lagi dengan mempertanyakan yang jauh lebih mendasar, baik itu tentang langit yang dihiasi siang dan malam, tentang sumber air yang katanya merupakan sumber kehidupan, kemudian tumbuh-tumbuhan, ada juga hewan dan terakhir kenapa ada manusia, kenapa saya dan siapa saya?

Bagaimana perjalanan pertualangan saya ? Saya cicil-cicil saja dulu ya, karena saya juga tidak pandai mengemasnya dalam bentuk kata-kata kecuali bercerita langsung.

Salam Yuna si wanita budak semesta, pelayan pikiran.

Kereta (Perjalanan Jakarta – Jogja), 10 Mei 2017

Selamat Divonis Pak Ahok

Akhir tahun lalu saya sempat menulis mengenai hukuman Ahok. Kemarin, 9 Mei 2017 telah ditetapkan keputusan hakim bahwa Pak Ahok divonis penjara dua tahun. Terlalu ringan, itu hukuman sangat biasa saja.

Saya bahkan berharap Bapak dihukum dengan seberat-beratnya, jika Bapak betul-betul dinyatakan bersalah. Saya sangat berharap semua yang pro dan kontra terhadap Bapak menerima dengan lapang atas dijatuhkannya hukuman terhadap Bapak.

Saya memberikan selamat kepada Pak Ahok atas divonis penjara selama dua tahun. Pak negara kita kan negara hukum ya? Kalau Putusan sudah ditetapkan, mending diterima dengan lapang meskipun saya tau persis maksud ucapan Bapak yang katanya “menista agama”.

Tapi tenang sajalah Pak, Anda ditahan bukan karena kasus korupsi kok seperti kasus-kasus politikus lainnya. Pak, dua tahun bukan waktu yang lama. Dipenjara karena kasus “kepeleset lidahnya” , itu malah membuat saya proud of you Pak. Anda memperlihatkan wajah negara kita yang sesungguhnya. Yang kepeleset lidahnya banyak kok Pak, tapi cuma Bapak yang ditahan, Bapak berarti hebat.

Dan perlu Bapak garis bawahi, negara demokrasi kita dan negara berlandaskan UUD 1945 kita ini telah memakan banyak korban atas pasal 156 dan 156a. Para pakar hukum sendiripun masih mempertanyakan pasal 156 Dan 156a tersebut, karena Bapak bukan orang pertama yang dihukum atas pasal ini.

Semoga para pendukung Bapak bisa menerima dengan lapang seperti halnya Bapak yang selalu siap atas konsekuensi yang Bapak lakukan.

Akhir kata saya mengutip tulisan teman facebook saya atas nama Mita Handayani pada tanggal 9 Mei 2017 (https://www.facebook.com/pradnya.paramita.handayani) :

“Tuduhan yang sama yang dulu menyeret Galileo ke pengadilan gereja. Yang membuat Ibnu Rusyd diusir dari Cordoba dan dibakar buku-bukunya. Yang membuat Yesus ditangkap dan disalib di Golgota. Yang membuat Muhammad dikejar-kejar hingga bersembunyi dalam gua. Yang membuat Hypatia dibantai di Alexandria. Yang membuat Socrates menghadapi hukuman mati di Athena”

Yogyakarta, 10 Mei 2017

 

AHOK Dikirim Untuk Kita

Salam,

Tulisan ini saya posting dua kali hari ini di sini dan kompasiana dengan berbeda judul.
Dari kemarin saya malas bahas ini, tapi hari ini okeh saya juga mau ikut bersuara.
Ahok menistakan? Iya bagi segolongan kaum, Tidak bagi segolongan lainnya. Yang mengatakan iya, punya banyak bukti dan segudang sumber, yang mengatakan tidak juga begitu. Kasusnya sudah diproses oleh aparat berwenang, tapi hal ini masih saja belum menenangkan untuk sebagian kaum. Sudah jadi tersangka tapi tidak ditahan menjadi masalah dengan dalih aparat tidak adil. Kenapa tidak ditahan?

Saya bukan anak hukum, tapi saya pernah membaca asas-asas hukum baik di pengantar hukum indonesia maupun pengantar ilmu hukum. Saya juga pernah membaca UU, karena kebetulan kerjaan saya seputaran UU dimana kita harus paham bagaimana UU itu berlaku. Nah setahu saya bahwa Pihak berwenang itu memiliki kode etik, kewajiban, wewenang dan haknya dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Jika ada segolongan kaum tidak mempercayai bahwa aparat sudah berlaku adil, lantas haruskah ada demo besar-besaran sebagai bentuk “ancaman” agar aparat tidak macam-macam dalam menggunakan hak dan wewenangnya. Kapolri merupakan lembaga independen, tentunya tidak ada intervensi dari pihak manapun. Coba deh yang suka sok tahu itu baca UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA. Kepolisian itu sudah pasti akan menjaga kredibiltasnya. Mungkin saya sedikit mengutip Pasal 18 (1) berbunyi “Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri”. Bisa juga baca Pasal 8 nya.

Apasih saya bukan anak hukum tapi sok bicara hukum. Bukan itu masalahnya, hanya saja dengan ketidakpercayaan masyarakat kepada aparat, lantas apa solusi masyarakat tersebut untuk tetap menegakkan keadilan? Jangan asal menuntut tapi tidak mengetahui bahwa pihak berwenang itu sedang dalam proses menjalankan tugasnya. Saya yakin aparat akan memberikan semaksimal mungkin tenaga dan pikirannya tentu berdasarkan UU yang berlaku untuk menyelesaikan masalah ini. Karena kalau tidak, ini menyangkut keamanan Negara.
Saya bukan pro Ahok ataupun yang demo Ahok yang dikatakan si “Penista Agama”. Hal ini sudah jelas tidak bisa langsung dikatakan “IYA” penista Agama. Kenapa???? Karena yang kontra memang banyak dibuktikan dengan adanya demo dan aksi damai, tapi yang pro juga tidak sedikit. Ini membuktikan bahwa pandangan terhadap pernyataan AHOK masih tanda tanya kan?

Bukan kah masyarakat yang baik itu yang taat sama hukum? Kita tunggu saja hukum yang berbicara. Hal ini sudah mengorbankan banyak kepentingan umum, cobalah sedikit berfikir untuk keamanan Negara. Aparat penegak hukum tidak bisa langsung main tangkap karena mereka memiliki STANDAR PROSEDUR. Ini masalah kepentingan umum, bukan kepentingan GOLONGAN. Saya akan membela AHOK kalau dia memang benar, saya akan membela FPI, MUI, dan semuanya kalau mereka memang benar. Jadi jelas dalam hal ini kepihakan saya pada kebenaran bukan siapa subjeknya.

Yang jadi permasalahan sekarang, standar kebenaran siapa yang akan dipakai? Sekali lagi Negara ini bukan negara Agama, tapi NKRI merupakan negara hukum. Bukan negara “PERASAAN”. Kalau semua orang mengandalkan perasaan, apa jadinya hidup kita setiap hari? Bukankah semua pelaku kejahatan memiliki perasaan?

Banyak juga yang mengatakan bahwa banyak aparat melakukan keberpihakan kepada kaum yang berduit, atau apalah semacamnya dan tidak pro dengan rakyat kecil. Okeh sekarang lihat kasus, misal saya langsung ambil contoh si AHOK yang katanya “si kapir penista agama” sedang memarahi bapak-bapak tua yang mukanya sudah memelas. Kalau divideokan pasti yang melihat, akan mengatakan kurang ajar si Ahok ini tidak pro rakyat kecil, eh setelah ditelusuri si bapak ternyata pencuri dan pencopet. Kalau mau pake perasaan, jadi maksudmu si Ahok ini harus kasihan begitu? Membiarkan bapak-bapak tua ini lolos? Susahkan jadi pemimpin? Dimana Anda harus memberantas kejahatan tanpa memihak sama siapapun.

Nah yang saya lihat sekarang itu, jujur bukan lagi penegakan hukum yang diperjuangkan akan tetapi rasa sakit, benci, dan dendam yang begitu mendalam dari semua kalangan baik Pro maupun kontra sehingga setiap hari ada saja oknum entah dari kemauan sendiri atau telah disetting berusaha memberikan info hoax untuk menjelek-jelekkan lawannya.

Banyak yang mengatakan saya pro Ahok. Saya tidak kenal dia, saya belum pernah bertemu dengan dia, saya juga bukan KTP DKI Jakarta, ngapain saya harus membela dia? Tapi dari kepala saya yang paling jernih, saya justru berterima kasih kepada AHOK karena telah menyadarkan umat muslim bahwa banyak oknum-oknum yang suka menggunakan ayat quran tidak hanya Al-Maidah itu untuk digunakan untuk berbohong kepada kaum-kaum awam yang tidak paham.

Coba lihat, seorang non muslim saja SADAR akan itu, Itu kritikan bukan penistaan menurut saya. Tapi tetap kita harus menunggu keputusan aparat berwenang. Kalau umat muslim yang mengatakan itu, apakah kalian akan SADAR??
Hai para ahli kitab, yang disampaikan AHOK itu fakta atau kebohongan? JUJUR lah pada diri kalian sendiri. PLISSS bukan masalah dia cagub atau bukan? Kalaupun AHOK non muslim telah memasuki ranah keagamaan yang bukan bidangnya, tapi apakah AHOK berbohong? Asal ngomong? Karena pernyataan ini semua orang SADAR kan kalau pemahaman ayat masih dangkal? Dia menistakan di bagian mananya?

Ahok perkataannya memang ceplas ceplos. Sekarang tolong dia tidak membunuh, dia tidak mencuri, dia tidak menghina Alquran karena jelas yang dia katakan itu tertuju pada oknum, nah oknum yang dia katakan pun tidak ditujukan secara jelas buat siapa. Setelah kejadian ini, apakah AHOK diam? Dia menyakiti beberapa kaum. Pertanyaan saya, Apakah hak kalian diambil, apakah dia menganggu imanmu? Apakah kesakitan kalian tidak cukup dengan minta maaf?

Kalau tidak cukup tolong kembalikan ke aparat. Kalau kalian tidak percaya sama aparat, lantas kalian mau mati bunuh diri? Atau membunuh aparat? Kita hidup di negara yang sama bahwa banyak jutaan manusia di negeri ini. Jika menginginkan NEGARA YANG ADIL, mari kita coba dari diri kita sendiri, APAKAH kita sudah adil, Apakah kita lebih baik dari mereka yang bersusah-susah berjuang?Apakah kita sudah sempurna? Jawablah dengan jujur.

Apakah yang sudah kita berikan buat negara? Jangan mengacau balaukan rakyat kecil. Mereka sudah susah, janganlah mengorbankan mereka demi dendam pribadi kita. Apakah jika AHOK ditahan, hidup kita berubah menjadi lebih baik? Oke mungkin kita iya, tapi bagaimana rakyat kecil yang sudah menjadi korban pecah belah ini. Sudahkah kita memberikan mereka solusi untuk mensejahterakan para rakyat kecil? Toh yang bekerja juga pemerintah kan.

Saya juga sangat menyayangkan kenapa AHOK berkata itu, tapi bukankah itu telah menyadarkan kita? Apakah kalau AHOK berkata itu dengan posisi dia bukan Gubernur atau Cagub kalian akan melakukan hal yang sama? Kan harus adil.
Bagi yang Pro sama Ahok tolonglah jangan membalas mereka dengan perkataan menghina juga. Berikan contoh bahwa kalian memang benar, jangan keluarkan kata kasar apalagi kata “membunuh”. Jangan membalas dengan cara yang sama.

Di akhir saya cuma ingin mengatakan bahwa jika AHOK nanti dinyatakan bersalah, hukum dia seberat-beratnya atau bahkan hukum dia seumur hidup (buatkan hukum khusus untuk dia, karena banyak aksi yang menjadi sangat “terkhususkan” karena dia) tapi jika TIDAK, maafkanlah dia agar dia bisa memperbaiki diri. Dan satu lagi jika AHOK dinyatakan tidak bersalah, RENUNGKAN BAIK-BAIK kenapa doa kalian tidak dikabulkan sama Pencipta Langit Dan Bumi. Bukan Kah DIA MAHA SEGALANYA? Kalau kalian katakan Tuhan TIDAK ADIL, lantas siapa yang LEBIH ADIL DARI TUHAN?
Salam sejahtera dan salam damai untuk seluruh umat manusia yang baik hati.

Bogor, 9 Desember 2016

Kesadaranku, Mematikanku !

Sejak saya menginjakkan kaki di jakarta 8 tahun silam, saya menyadari bahwa hidup bukan hanya sebatas makan, tidur, sekolah, kuliah, bekerja, membeli rumah mewah, mobil mewah, ibadah haji, membahagiakan orang tua. Pemikiran ini yang tertanam dalam diri saya sejak kecil, pikiran ini telah memperbodohi akal sehat saya selama bertahun-tahun.

Hingga pada akhirnya saya mulai belajar dari mana-mana sejak tahun 2009. Saya pernah terlibat dalam sebuah organisasi yang dianggap sesat oleh kebanyakan orang. Saya bahkan pernah memasuki gereja dan wihara hanya untuk mencari pembenaran dalam kehidupan. Tapi ternyata saya masih belum mendapatkannya. Saya beberapa kali sering berfikir saya tidak ada gunanya hidup, saya suka membantu banyak orang tapi tetap tidak bisa merubah segalanya. Masih ada yang salah dalam kepala saya.

Selama ini saya hanya menjadi penikmat dan penonton apa yang terjadi di Negeri ini yang katanya sebuah negeri merdeka dengan banyak pertumpahan darah dan perjuangan oleh pahlawan-pahlawannya.

Setiap harinya saya belajar melihat kehidupan, tapi saya masih belum bisa berbuat banyak. saya terkadang sangat menyesal kenapa tidak dari puluhan tahun lalu saya mencari tau seperti sekarang ini, tidak dari puluhan tahun lalu saya belajar sejarah, apa yang sebenarnya terjadi pada dunia ini.

Saya pernah menjadi seorang yang agamis, yang memiliki mimpi ingin masuk surga dengan memperbanyak ibadah hingga ketika bulan puasa pun semua ibadah sunnah saya lakukan berlipat-lipat kali di kala usia saat itu masih 13-16 tahun. Usia saat itu seorang anak biasanya hanya memikirkan main, tapi yang dalam pikiran saya hanyalah ibadah sebanyak-banyaknya. Namun semakin ke sini saya semakin bingung apa faedah semuanya itu dibandingkan dengan kehidupan yang penuh misteri ini. Saya berfikir, jika semua orang melakukan apa yang saya lakukan taat beribadah apakah dunia akan tenang? Damai? Sejahtera??

Ternyata tidak demikian, telah berbagai cara dilakukan oleh orang banyak untuk mencapai kesejahteaan itu, namun apa yang terjadi hingga sekarang hanya kekacauan yang terlihat di depan mata. Hanya sedikit perubahan yang terjadi meskipun perubahan itu berusaha mencapai titik maksimalnya untuk kepentingan orang banyak. tapi selalu ada celah untuk orang berbuat jahat.

Saya tidak melihat kebenaran sedikitpun di zaman sekarang ini, kalaupun ada dari milyaran manusia hanya nampak 1-2 orang. Bahkan saya katakan 0. Tidak ada lagi kebenaran yang terlihat. Isi kitab suci yang saya baca selama ini tentang sejarah-sejarah para nabi ternyata tidak sesuai, di dalamnya mengatakan kebenaran akan menang. Tidak, kebenaran pada masa sekarang selalu kalah dengan hal yang lebih tinggi. Kebenaran selalu kalah dengan kekuasaan dan uang. Apakah Tuhan yang dimaksud di sini adalah kekuasaan? Uang? Apakah ini yang dimaksud oleh sejarah-sejarah zaman dahulu bahwa manusia telah berzinah dan telah berselingkuh yaitu maksudnya manusia telah menTuhankan  menTuhankan uang dan kekuasaan tersebut, tidak menTuankan Tuhan yang sesungguhnya.

Di mana letak Tuhan sebagai zat yang Maha Tinggi. Saya tidak melihatnya sama sekali. Terlalu banyak pemikiran-pemikiran muncul dari zaman ke zaman, dari pemikiran plato, kemudian kitab-kitab suci yang diturunkan kepada Musa sampai ke Muhammad. Semuanya masih belum bisa menjawab untuk mengatasi semua masalah yang terjadi di abad 21 sekarang ini. Apakah Tuhan masih berfungsi di zaman sekarang ini? Atau Tuhan telah mati seperti yang dikatakan oleh kebanyakan orang juga dituliskan oleh Karen Amstrong pada “Sejarah Tuhan” bahwa Tuhan telah mati atau telah pergi jauh. Telah banyak konsep tuhan yang sudah diciptakan manusia dari berabad-abad silam.

Saya bukan orang ateis yang tidak percaya eksistensi Tuhan. Saya masih memeluk agama yang diturunkan oleh orangtua saya. Namun saya juga penasaran kondisi zaman sekarang. Apakah Tuhan tidak mampu memberikan pemahaman kepada dunia untuk mengatasi masalah-masalah yang ada? Serendah itu kah ilmu Tuhan?

Lalu apa gunanya orang-orang yang setiap hari berbuat kebaikan tapi tetap tidak bisa merubah segalanya. Melihat kisah sejarah para nabi-nabi, apakah mungkin seorang diri dapat merubah seluruh umatnya di saat itu, untuk mengikuti paham yang diturunkan langsung dari Tuhan Allah. Bagaimana cara para utusan Tuhan itu bekerja saat itu, di kala dia menghadapi segala banyak masalah yang terjadi di bangsa itu. Apakah mungkin kondisi dunia sekarang sama dengan kondisi yang dihadapi para utusan Tuhan di zaman belakang?

Melihat kondisi yang sangat rumit ini, yang sangat kompleks ini seakan-akan saya tidak percaya bahwa pernah ada suatu peradaban yang hidup dengan penuh damai dan sejahtera. Itu semua dongeng belaka. Itu semua bohong. Bagaimana tidak, siapapun bisa membayangkan kondisi seperti itu, tapi coba lihat, buka mata lebar-lebar apakah mungkin kondisi sekarang ini bisa mencapai titik itu??

Dalam kaum agamis pasti akan menjawab tugas kita yang penting menyebar kebaikan. Ya saya setuju, tapi jika tidak memberikan kontribusi yang riil, itu semua Nihil saya katakan. Harus ada teori dan tindakan nyata yang kuat untuk menguji mengenai ini. Bukan hanya angan-angan belaka seperti layaknya yang terjadi pada dongeng anak kecil sebelum tidur, atau FTV atau drama korea yang selalu happy ending.

Ah saya masih banyak PR yang harus dikerjakan, saya harus belajar dari awal di kala orang-orang sudah melangkah maju. Pemikiran dan keinginan ini baru muncul dikala usia saya sudah 1/4 abad. Teman-teman saya sudah sibuk mencari nafkah demi masa depan, sedangkan saya harus masih belajar mencari benang merah di setiap sejarah, Dan pada akhirnya, saya lebih memilih untuk menghabiskan logistik saya untuk belajar kebanding investasi tanah, rumah, mobil atau impian-impian jalan-jalan ke luar negeri kayak orang-orang.

Jakarta, 24 Mei 2016